Krisis Kebebasan! RUU Penyiaran Siap Menghancurkan Pilar Pers dan Ekspresi

Source: antaranews.com

 

Empatsuara.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang sedang digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai kontroversi dan menimbulkan kekhawatiran yang serius terkait ancaman terhadap kebebasan pers dan ekspresi di Indonesia. Beberapa pasal dalam RUU tersebut dinilai berpotensi menghambat hak-hak fundamental yang telah dijamin oleh konstitusi dan undang-undang sebelumnya.


Kontroversi Pasal Pengalihan Sengketa Jurnalistik

Salah satu poin kontroversial adalah pasal yang mengalihkan penyelesaian sengketa jurnalistik dari Dewan Pers ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dewan Pers sebelumnya memiliki wewenang penuh untuk menangani masalah ini sesuai dengan Pasal 42 ayat 2 yang tumpang tindih dengan UU Pers 40 Tahun 1999, yang menjamin independensi pers.

Berikut bunyi pasal 42 ayat 2:

"Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Kita sangat mengetahui bahwa KPI sering kali mendapat kritikan atas kinerjanya yang problematik. Contohnya, stasiun TV cenderung melakukan sensor berlebihan demi menghindari surat peringatan dari KPI, yang menunjukkan bahwa KPI belum berhasil mengedukasi batasan sensor yang tepat. Hal ini menjadi lebih serius ketika menyangkut sengketa terkait kegiatan jurnalistik, di mana KPI dianggap tidak memiliki kompetensi yang memadai. Akibatnya, penanganan sengketa jurnalistik oleh KPI dapat membahayakan masa depan kebebasan pers dan kualitas jurnalistik di Indonesia.

 

Pembatasan Jurnalisme Investigatif

RUU Penyiaran juga memuat pasal yang melarang penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi, yakni Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) . Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c):

"Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan menge nai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi;"

Jika jurnalistik investigasi dilarang, kita bisa kembali ke era di mana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan tidak terungkap. Contohnya adalah pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto, di mana banyak media dibubarkan karena mencoba mengungkap praktek korupsi. Salah satu kasus besar adalah korupsi yang dilakukan oleh Bob Hasan, yang jumlahnya begitu besar hingga sulit diperkirakan. Jika investigasi jurnalistik dilarang, kasus-kasus serupa bisa terjadi lagi tanpa ada yang mengungkapnya, membiarkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan berkembang tanpa kendali. Ini menunjukkan betapa pentingnya kebebasan jurnalistik untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.

 

Pasal Karet dan Ancaman Kebebasan Berpendapat

Selain itu, RUU ini juga mengandung pasal-pasal yang disebut sebagai "pasal karet" karena mengandung istilah-istilah yang multitafsir seperti "penghinaan" dan "pencemaran nama baik". Contohnya adalah Pasal 50B ayat 2 huruf (k) yang berbunyi:

"Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme."

Pasal-pasal semacam ini menurut saya dapat dengan mudah disalahgunakan untuk menekan kebebasan berpendapat dan mengkriminalisasi jurnalis serta aktivis yang mengkritik pemerintah atau pihak-pihak tertentu. Hal ini mengingatkan banyak pihak pada era Orde Baru di mana pers dibungkam dan kritik terhadap pemerintah sangat dibatasi.

 

Kekhawatiran lainnya muncul dari pengaturan konsentrasi kepemilikan media yang semakin memperkuat oligarki media. RUU ini memungkinkan pemusatan kepemilikan media yang bisa mengakibatkan dominasi informasi oleh segelintir pihak, sehingga mengancam keberagaman informasi dan suara dari berbagai kelompok masyarakat. Selain itu, RUU ini juga dapat menghalangi ekspresi kelompok marginal dan kaum muda di media digital. Banyak kalangan, termasuk aktivis dan organisasi masyarakat sipil, menyebut RUU ini sebagai bentuk "penyensoran" yang dapat membungkam suara-suara kritis dan inovatif.

 

Kesimpulan

RUU Penyiaran dinilai tidak hanya sebagai ancaman bagi kebebasan pers, tetapi juga sebagai langkah mundur yang signifikan dalam demokrasi Indonesia. Pembahasan dan penyusunan RUU ini dianggap kurang melibatkan pemangku kepentingan yang relevan, sehingga banyak pasal yang dianggap tidak jelas dan cenderung multitafsir. Dengan segala kontroversi ini, banyak pihak mendesak agar RUU Penyiaran dihentikan dan direvisi secara komprehensif dengan melibatkan lebih banyak pihak untuk memastikan bahwa kebebasan pers dan hak berekspresi tetap terlindungi di Indonesia.


Penulis: Jessica Marta Sitorus 

Posting Komentar untuk "Krisis Kebebasan! RUU Penyiaran Siap Menghancurkan Pilar Pers dan Ekspresi"